Gawai RAA Mandung Dayak Taman Tahun 2014
Video by : youtube.com/deofighting
Masyakat Dayak Taman Kapuas menggelar pesta Gawai RAA Mamandug di Betang RT 4, Desa Sayut Kecamatan Putussibau Selatan. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 16 sampai 19 Juni 2014. Gawai RAA Mandung kali ini, merupakan agenda ‘Mambalasi’ yang dilakukan Keluarga Ibu Sarati. Kegiatan ini dipimpin Pulo Balien, Laurensius Pulo. Pada kesempatan itu hadir Tokoh Masyarakat Desa Sayut, serta masyarakat Suku Dayak Taman Kapuas Melapi I,II,III,IV dan V, Ingkotambe, Sayut, Lunsa Hilir dan Hulu. Hadir pula perwakilan Masyarakat Dayak Iban dari Malaysia.
Pada RAA Mandung ini, undangan yang datang ke lokasi kegiatan tampak menggunakan Perahu Tambe (Perahu hias khas suku Dayak). Setibanya dilokasi, bedil (meriam tradisional) pun dibunyikan. Hal tersebut dilakukan untuk memberitahukan pada masyarakat bahwa undangan telah tiba. Selanjutnya para undangan itu menggelar ‘Maliliti Pandung’ (mengitari pangung kurban). Usai maliliti pandung, mereka melakukan Pemotongan Umpang (sebuah batang kayu yang dibuat sebagai penghadang). Setelah itu, pihak keluarga yang menyelenggarakan RAA Mandung melakukan penobakan kurban yang ada di Pandung. Kemudian mereka dijamu dalam ritual ‘Pasiap’ (kaum perempuan Dayak Taman Kapuas menyuguhi makanan untuk masyarakat). Pada akhirnya, menjelang malam, pihak keluarga yang menggelar RAA Mandung melaksanakan acara ‘Siamasan’ (pertukaran dan pemasangan perangkat adat Dayak Taman Kapuas).
Pulo Balien, Laurensius Pulo mengatakan, RAA Mamandung merupakan gawai dayak yang tertinggi di suku Dayak Taman Kapuas. Mamandung kali ini adalah membalas kegiatan mamandung yang sudah dibuat oleh orang tua terdahulu. “Dalam mandung ini bahasa mamang (doa bahasa adat) berbeda dengan gawai dayak yang umum,” paparnya.
Ia juga menjelaskan pihak keluarga terkait yang mengikuti Mandung juga dimamasi (penghargaan tertinggi pada Suku Dayak Taman Kapuas). Pada mamasi itu ada makanan, pakaian tradisional laki-laki dan perempuan yang dimasukan kedalam capan, capan itu pun dibungkus dengan kain khusus. Selain itu ada juga kurban yang dipersembahkan, kurban tersebut berupa satu ekor sapi. Setelah dibunuh, kurban itu kemudian disantap bersama oleh seluruh masyarakat yang hadir. “Kurban itu sendiri sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada leluhur,” tutup Laurensius Pulo. (Yohanes)
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih telah mengunjungi blog sederhana ini,semoga bermanfaat